rss
email
twitter
facebook

Rabu, 12 Januari 2011

Mengapa Kami Mendaki

Mendaki gunung bukanlah persoalan hukum, yang hitam putih, boleh atau tidak. Naik gunung juga tidak terlalu berkaitan dengan jenis kelamin sang pendaki. Mendaki gunung adalah masalah perasaan. Ketajaman mata hati, kejernihan pikiran dan inspirasi yang berlimpah. Gunung mengajarkan tentang kesejatian makna hidup dan perjuangan mencapai puncak kemenangan.

Gie meninggal di puncak Mahameru dalam usia 27 tahun. Masih sangat muda. Dan dalam kemudaannya dia telah mampu berbuat banyak untuk negerinya. Meskipun secara genetik, dia bermata sipit dan berkulit terang. Sebuah pertanda fisik dia adalah seorang Tionghoa. Gie bisa mengindonesia— salah satunya—karena gunung yang dijelajahinya.

Memiliki kecintaan terhadap alam: gunung, sungai, danau, lembah dan segala keelokan nusantara, akan membantu kita memahami Indonesia. Sesungguhnya, di sanalah terletak kesadaran seorang warga nusantara. Pendakian bukan hanya persoalan senang-senang, hobby, atau killing the time. Setiap posko yang dilalui mrupakan pertanda bagi sebuah pencapaian kesadaran.

Karena itu, janganlah melarang siapapun untuk menikmati negerinya. Bagi yang menelanjangi setiap lekuk gunung di nusantara ini, juga jangan hanya karena superioritas belaka. Atau bahkan hanya karena membunuh kebosanan. Jadikan gunung alat introspeksi permasalahn bangsa. Muhammad [shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wasallam] juga mendaki Hira untuk merefleksi persoalan ummatnya. Itu jika kita ingin meneladani manusia paripurna.
*Amin Sudarsono

1 komentar:

Anonim mengatakan...

dengan gunung aku merasa hidup
dengan gunung aku berbagi
dengan gunung aku bernyanyi
dan dengan gunung aku berdiskusi

jangan pernah matikan aku dengan kecintaan ku jika kau tak ingin mati dengan kecintaan mu...

Posting Komentar